santrimillenial.id – Perkembangan Islam yang masuk ke Indonesia memiliki perjalanan panjang. Tentunya bangsa Indonesia tidak dengan begitu mudahnya menerima budaya Islam yang masuk. Hidupnya agama lain sebelum Islam yakni Hindu, kejawen maupun Budha menjadi tantangan tersendiri dalam mensyiarkan syariat Islam. Uniknya, ulama terdahulu seperti Walisongo mempunyai cara tersendiri dalam mencari perhatian masyarakat Indonesia yakni mengakulturasikan budaya Indonesia dengan Islam, supaya masyarakat dapat menerima budaya tersebut dengan lebih mudah.
Salah satu budaya Islam hasil akulturasi ialah tahlilan. Tahlilan merupakan budaya lokal hasil dari kompilasi agama antara Hindu, Budha, Jawa dan islam. Hal ini terlihat dari perhitungan hari dan unsur bacaan. Banyak pihak yang mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah. Namun, tuduhan tersebut dapat kita sangkal dengan pendapat imam Syafi’i yang menyatakan bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw dan Salafus Sholeh (pendaluhu yang shalih) tidak dapat dinobatkan berlawanan dengan Al Qur’an maupun dianggap sesat.
Sampai saat ini tahlilan menjadi identitas budaya lokal keislaman di Indonesia dan mempunyai makna implisit, misalnya menyimpan erat norma Pancasila. Sehingga tradisi tahlilan mempunyai relevansi dengan nilai Pancasila. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Pancasila menjadi landasan hidup bernegara di Indonesia. Tahlilan dalam hal ini sebagai bentuk praktek mengamalkan lima sila tersebut yang lahir atas musyawarah panjang dan perenungan mendalam oleh para tokoh pendiri bangsa ini.
Selain itu Pancasila sebagai landasan ideologi tentunya dapat berkontribusi dalam mewujudkan asas, orientasi dan pedoman normatif untuk semua hal dalam kehidupan bangsa. Hal tersebut termaktub dalam tradisi tahlilan. Dari perjalanan panjang merumuskan Pancasila dari sidang BPUPKI hingga PPKI, maka harapannya nilai Pancasila terus permanen dan hidup bersinar dalam hati setiap masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan tahlilan yang menyimpan historis panjang sehingga dapat diterima masyarakat dan kini menjadi media kerukunan bersama.
Nilai Pancasila dalam Tradisi Tahlilan
Tradisi tahlilan perlu kita wariskan terhadap generasi bangsa untuk mempopulerkan jika tradisi ini mempunyai hubungan mutualisme nilai dengan Pancasila. Nilai dalam tradisi tahlilan sebagai pengaplikasian norma Pancasila antara lain; Pertama, Nilai Ketuhanan. Praktek tahlilan secara terbuka menjadi wujud pengakuan masyarakat akan adanya Tuhan yang maha menghidupkan dan mematikan. Hal ini juga menyadarkan masyarakat atas kematian bahwa seseorang tidak ada yang bisa menjamin umur kehidupan. Pengakuan tersebut akan memicu peningkatan ibadah seseorang.
Kedua, Nilai Kemanusiaan. Saat berkunjung ke rumah seseorang yang meninggal dunia, misalnya. Kita mendo’akan, melakukan tahlilan bersama merupakan sikap simpati terhadap keluarga yang sedang berduka. Turut menyampaikan bela sungkawa kepada keluarga yang sedang berduka, secara tidak langsung menghilangkan rasa sepi dan kesendirian serta menimbulkan rasa bahagia atas kepedulian orang yang berkunjung kepada yang berduka, meski tidak seutuhnya hangus setidaknya menepis sedikit rasa kehilangan.
Ketiga, Nilai Persatuan. Pelaksanaan tahlilan yang merangkum sila selanjutnya ialah menjadi sarana yang ampuh pada Guyup Rukun masyarakat. Ketika melibatkan tetangga sekitar maupun keluarga atau teman yang jauh, tidak membedakan strata sosial baik miskin ataupun kaya, pejabat maupun buruh dan guru maupun murid. Bentuk persatuan lainnya adalah saat mengundang saudara jauh dari berbagai daerah yang mempunyai perbedaan bahasa maupun adat dengan tetap menyamaratakan. Hal ini menjadi wujud Bhinneka Tunggal Ika sekaligus tertuang dalam Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.
Keempat, Nilai Kerakyatan dan Permusyawarahan. Dari awal mulai hingga akhir tradisi ini menyimpan sikap musyawarah. Dari memilih pemimpin tahlilan, semua mempercayai dan menunjuk seseorang kemudian menyepakatinya bersama sama. Selain itu, pemimpin tahlil akan menanyakan pendapat Shohibul Bait untuk memulai tahlilan, karena bisa saja ada seseorang yang belum datang, hal lain setelah selesai, pemimpin tahlil juga menanyakan apakah ada hal lain atau dicukupkan kepada tuan rumah.
Kelima, Nilai Keadilan. Praktek dari tradisi ini yang berimplikasi terhadap nilai Pancasila terakhir ialah bentuk keadilan terhadap semua tamu tahlilan. Tidak ada perbedaan dalam memperlakukan yang dilihat dari stratifikasi sosial. Semua duduk sama rata di bawah atau dalam istilah Jawa disebut dengan “lesehan”.
masyaalloh ,, lewat tulisan ini semakin menyadarkan kita untuk tidak mengejustifikasi suatu perkara dengan label bid’ah,, apalagi setelah di telisik dan dipadukan dengan dalil2 maupun tafsir al qur’an dan hadist yang ternyata memang ada kaitanya dengan hal tersebut,,,
sedikit tambahan min,, mungkin dari setiap nilai-nilai pancasila sila 1,2,3,4 dan 5 masing -masing bisa di sertakan dalil/ayat dari nash Al qur’an maupun hadist yg berkaitan dengan point di masing-masing sila tidak hanya di sila ke 3 saja ,,,, jd biar pembaca bertambah keyakinnannya bahwa tahlilan memang relevan dengan nilai pancasila,,, ngapunten dan terimakasihh atas ilmunyaa min,, hehe