free page hit counter

Bagian IV: Ijtihad dalam Pandangan Fiqh Sosial Kiai Sahal

santrimillenial.id – Secara sederhana, Fiqh Sosial merupakan gagasan Kiai Sahal yang berorientasi kepadaa kemaslahatan umat, baik di dunia atau di akhirat. Dalam pelaksanaanya Fiqh Sosial Kiai Sahal memegang teguh lima prinsip dalam menyikapi sebuah permasalahan. Lima prinsip tersebut adalah Pertama, melakukan interpretasi ulang teks-teks fiqh dan mengkontekstualisasikan. Kedua, transformasi bermadzhab. Ketiga, melakukan verifikasi atau peninjauan ulang anatara masalah ushul dan furu’. Keempat, fiqh diposisikan sebagai etika sosial, bukan sebagai hukum positif negara. Kelima, pengenalan metodologi pemikiran filosofis, terutama dalam hal budaya dan sosial.[1]

Fiqh Menurut Kiai Sahal

Fiqh Sosial Kiai Sahal memandang bahwa, fiqh merupakan sebuah panduan praktis kehidupan dalam islam. Dengan demikian, sejatinya fiqh masuk dalam ranah kehidupan manusia secara keseluruhan. Meliputi 4 aspek, yaitu ubudiyah, muamalah, munakahah, dan jinayah. Sehingga dalam praktik kehidupan fiqh harus berjlan secara harmonis dan selalu bedampingan[2]. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dalam masyarakat modern terdapat sebuah pola piker yang mulai mengesampingkan aspek fiqh dalam kehiduapnnya.

Hal ini mungkin disebabkan oleh perkembangan dunia modern yang semakin pesat. Akan tetapi tidak diiringi dengan dengas pendekatan ruhaniyah atau fiqh. Maka secara tidak langsung terjadi gap atau kesenjangan antara praktik dengan konsep ideal fungsi fiqh sebagai panduan kehipuan dalam islam. Dari proposisi ini, memberikan sebuah kesimpulan sederhana mengenai tuntutan terhadap fiqh untuk harus selalu up to date atau merespon fenomena-fenomena modern.  Tidak dapat dipungkiri bahwa, kehidupan modern tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (Science) baik dalam bidang teknologi, kedoteran, sosial, dan masalah humanitas kontemporer.

Sehingga dalam menentukan sebuah kepastian hukum aspek modernitas kehidupan ini dipertimbangkan dan tidak dapat dinafikan. Dalam rangka mewujudkan harmonisasi antara parktik dengan fiqh maka harus dilakukan sebuah usaha untuk memberikan kepastian hukum terhadap setiap fenomena-fenomena baru yang muncul. Usaha inilah yang dikenal dengan istilah “Ijtihad”.

Substansi Ijtihad

Secara substansial, istilah “Ijtihad” pada bagian sebelumnya dengan “Ijtihad” dalam pandangan Fiqh Sosial memiliki fungsi dan tujuan yang sama yaitu untuk menentukan hukum tentang segala persoalan-persoalan baru dan melakukan modernisasi hukum dalam Islam. Disinggung oleh Amin Abdullah dalam buku “Metodologi Fiqh Sosial” bahwa terdapat istilah ijtihad kontemporer, hal ini sebagai respon terhadap pendapat Muhammad Arkoun yang mengatakan bahwa pemikiran Islam telah terjadi stagnasi sejak abad ke-12 sampai abad ke-19. Akibat dari ortodoksi (Pembekuan) pemikiran Islam, ilmu-ilmu kalam dan fiqh tidak mengalami perkembangan.

Ijtihad Jama’i Tawaran Atas Adanya Stagnasi Hukum

Keberadaan stagnasi hukum Islam menjadi semangat dan semangat “Fiqh Sosial” untuk mewacanakan membuka pintu-pintu ijtihad selebar-lebarnya[3]. Dalam hal ijtihad, Fiqh Sosial Kiai Sahal memberikan tawaran yang membedakan dengas konsep ijtihad sebelumnya. Yaitu dengan istilah Ijtihad Jama’i atau Ijtihad Kolektif, tawaran ini diberikan Kiai Sahal dengan pertimbangan beratnya syarat-syarat ijtihad yang harus dimiliki oleh seseorang ditambah dengan aspek modernitas kehidupan yang terus berkembang dan sangat jarang ditemui orang yang mempunyai kemampuan itu. Padahal, di sisi lain problem sosial terus bergerak secara dinamis. Maka, untuk merespon hal ini, Ijtihad dalam pandangan Kiai Sahal dapat dilakukan secara bersama-sama dengas melibatkan pakar keilmuan di setiap bidang yang dibutuhkan. Dengan adanya Ijtihad Jama’iy ini, diharapkan tidak terjadi kekosongan ijtihad dan proses harmonisasi praktik dengan fiqh tetap berjalan dengas seimbang.


[1] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqh Sosial, 4th ed., vol. 1 (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 1994). Hlmn. Vii-viii.

[2] Mahfudh. Hlmn. xxvi-xxxii.

[3] Amin Abdullah et al., Metodologi Fiqh Sosial dari Qouli Menuju Manhaji, 1st ed. (Pati: Fiqh Sosial Institue, 2015). Hlmn. 15-19.

Anda mungkin juga suka.